Oleh Redaksi Fakta.News – JAKARTA BERITA FAKTA.NEWS – Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan mengumumkan rencana penulisan ulang sejarah Indonesia. Salah satu poin penting yang akan direvisi adalah narasi bahwa Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut, narasi tersebut tidak lagi relevan dengan bukti sejarah yang ada.
“Enggak ada 350 tahun Indonesia dijajah itu. Kita itu melakukan perlawanan terhadap para penjajah itu,” ujar Fadli seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Narasi penjajahan 350 tahun merujuk pada kedatangan Cornelis de Houtman di Banten tahun 1596 hingga proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Namun, klaim ini telah lama menuai kritik karena tidak mempertimbangkan realitas sejarah yang lebih kompleks.
Sejarawan Kritisi Narasi Lama
Ahli sejarah hukum asal Belanda, G.J. Resink, dalam bukunya Indonesia’s History Between the Myths (1968), menyebut perhitungan itu keliru. Menurutnya, kedatangan Belanda pada akhir abad ke-16 hanya untuk berdagang, bukan menjajah.
“Penjajahan tidak terjadi serentak. Banyak wilayah baru ditaklukkan Belanda di awal abad ke-20. Aceh, misalnya, baru ditaklukkan tahun 1903, Bone pada 1905, dan Klungkung, Bali, pada 1908,” tulis Resink.
Faktanya, selama tiga abad lebih, kerajaan-kerajaan di Nusantara masih memiliki otonomi dan menjalin hubungan diplomatik sendiri dengan bangsa asing.
Narasi Politik dan Nasionalisme
Meski demikian, narasi “350 tahun dijajah” tetap kuat dalam pidato-pidato tokoh kemerdekaan seperti Soekarno dan Mohammad Yamin. Dalam pidato peringatan 1 tahun kemerdekaan, 17 Agustus 1946, Soekarno menyatakan:
“Selama 350 tahun kita mengalami hidup dalam penjajahan Belanda, sekarang dengan secara kilat pada 17 Agustus 1945 kita telah memproklamirkan kita punya kemerdekaan.”
Sejarawan Asvi Warman Adam menyebut bahwa narasi ini digunakan untuk membangkitkan semangat nasionalisme dan anti-kolonialisme masyarakat Indonesia saat itu.
Revisi Sejarah Nasional
Pemerintah menegaskan, revisi sejarah bukan bertujuan menafikan penderitaan rakyat di masa penjajahan, namun untuk memberikan gambaran yang lebih faktual dan menyoroti perlawanan rakyat di berbagai daerah.
“Ini adalah upaya untuk membangun kesadaran historis yang lebih adil, agar generasi muda tidak hanya tahu tentang penjajahan, tetapi juga perjuangan dan keberanian rakyat kita,” tutup Fadli. (Red)