HOT

iklan idul adha

Tukang Kebun Kritik Wacana Lumbung Pangan Haltim

Haltim, beritafaktanews.com — Narasi Pemerintah Provinsi Maluku Utara  bahwa Kabupaten Halmahera Timur  akan dikembangkan sebagai kawasan lumbung pangan mendapat kritikan tajam dari seorang tukang kebun asal Kecamtan Wasile, Nurhakiki. Pria berusia 30 tahun itu menilai program tersebut tidak menyentuh persoalan fundamental, terutama kerusakan Sungai Muria di Desa Bumi Restu akibat aktivitas tambang.

Kritik tersebut muncul setelah kegiatan gerakan tanam padi yang dihadiri Gubernur Malut di Subaim pada Rabu, 5 November 2025. Menurut Nurhakiki, kunjungan tersebut hanya menampilkan kemeriahan seremoni, namun mengabaikan persoalan ekologis yang mengancam masa depan pertanian di daerah tersebut.

“Antara sungai dan lumbung pangan tidak bisa dipisahkan. Air itu nyawa bagi tanah, dan menjadi indikator sehat tidaknya pertumbuhan ekonomi daerah,” ujarnya, Kamis (6/11/2025).

Ia mengungkapkan, para petani di Subaim kini harus rela menerima kondisi di mana pintu air ditutup saat hujan untuk mencegah limbah tambang masuk ke area pesawahan. Kondisi ini, kata dia, adalah bukti bahwa petani telah kehilangan kemandirian atas sumber air yang seharusnya menjadi penopang utama kehidupan mereka.

“Mereka bekerja keras menanam, tapi tidak lagi punya kendali atas sumber kehidupan yang memberi mereka panen,” tambahnya.

Dalam sejumlah unggahan media mengenai kegiatan tanam padi tersebut, Nurhakiki melihat mayoritas hanya memperlihatkan masyarakat berfoto bersama Gubernur. Suasana tampak hangat, tetapi menurutnya, ada ironi di balik itu.

Ia menilai narasi lumbung pangan terkesan hanya menjadi agenda seremoni, sementara dari sisi politik, Subaim adalah wilayah strategis sebagai “lumbung suara”. Dengan karakter masyarakat transmigran yang dinilai patuh dan pasif, janji-janji berupa bibit dan pupuk bisa menjadi alat politik yang efektif.

“Yang sedang dibangun itu bukan hanya lumbung pangan, tetapi lumbung suara. Sisanya hanya foto bersama dan baliho bekas,” tegasnya.

Lebih jauh, ia menilai proyek lumbung pangan ini berpotensi menjadi praktik greenwashing, yakni menutup jejak kerusakan lingkungan dengan program berwajah hijau.

“Dengan menanam di satu sisi, pemerintah menutupi kerusakan di sisi lain. Padahal pertanian tidak bisa tumbuh di atas tanah yang terluka dan sungai yang tercemar,” ujarnya.

Meski begitu, Nurhakiki tetap percaya bahwa Subaim memiliki potensi besar sebagai lumbung pangan, namun syarat utamanya adalah pemulihan lingkungan terlebih dahulu.

“Kalau kita sungguh ingin Subaim jadi lumbung pangan, kita harus mulai dari menyembuhkan sungai, menata tanah, dan memerdekakan suara petani. Baru kita menanam bersama, dan hasilnya milik bersama,” tutupnya. ( R 14/wis/man )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *