Tanjung Enim, Beritafaktanews.com –
Di tengah hiruk-pikuk Tanjung Enim yang dikenal sebagai kota tambang, selembar kain bernama Batik Kujur membawa warna baru dalam kehidupan masyarakat. Bukan sekadar kain, Batik Kujur menjadi simbol perubahan: dari ketergantungan pada tambang, menuju ekonomi kreatif berbasis budaya.
Nama Kujur diambil dari senjata tradisional masyarakat setempat, menyerupai tombak. Dalam falsafah lokal, kujur bukan hanya alat pertahanan, melainkan lambang keberanian, kehormatan, dan kekuatan hidup — nilai yang kini diabadikan dalam setiap helai batik.
Awal Mula Sebuah Gerakan
Kisah Batik Kujur bermula pada akhir 2018, ketika PT Bukit Asam Tbk (PTBA) memperkenalkan pelatihan membatik kepada warga Dusun Tanjung melalui program Corporate Social Responsibility (CSR). Dari sinilah Ahmad Syahdan, Ketua SIBA Batik Kujur, mulai mengenal dunia batik.
“Selain sosialisasi, PTBA memfasilitasi kami dengan peralatan, bahan, hingga pemasaran. Kami juga diajarkan cara mengelola kelompok dan mengembangkan usaha. Semua masih berjalan sampai sekarang,” ujar Syahdan mengenang.
Awal Januari 2019 menjadi momentum lahirnya komunitas Batik Kujur. Para pengrajin lokal belajar menggores malam di atas kain, merangkai cerita budaya menjadi motif yang bernilai jual.
Tiga Motif Awal Penuh Makna
Ketika resmi diluncurkan pada 2 Maret 2019, Batik Kujur memperkenalkan tiga motif utama yang sarat filosofi:
Motif Keris, melambangkan pusaka dan keberanian.
Motif Bunga Tanjung, ikon kota yang harum dan anggun.
Motif Padi, simbol kesatuan dan kemakmuran masyarakat Lawang Kidul serta Tanjung Enim.
“Ketiga motif itu adalah identitas awal kami. Ke depan, masih banyak motif yang bisa kami kembangkan sesuai kekayaan budaya lokal,” tambah Syahdan.
Rezeki dari Selembar Kain
Kini, membatik bukan lagi sekadar kegiatan budaya, tetapi sumber penghidupan baru. Syahdan mengaku dapat meraih penghasilan kotor antara Rp7–10 juta per bulan, dengan keuntungan bersih sekitar Rp4 juta.
“Alhamdulillah, 80 persen kebutuhan rumah tangga bisa terpenuhi dari batik, termasuk biaya sekolah anak-anak,” ungkapnya.
Permintaan motif batik pun kerap menyesuaikan dengan momen dan festival lokal. Saat festival durian, batik bermotif durian jadi incaran. Begitu pula festival kopi, muncul pesanan batik bermotif biji kopi.
Harga Batik Kujur bervariasi:
Rp250 ribu per lembar (katun premis 2,5 meter)
Rp500 ribu per lembar (katun sutra/silk)
Tantangan dan Harapan
Meski permintaan meningkat, para pengrajin masih menghadapi kendala klasik: modal dan kapasitas produksi terbatas. Idealnya, satu kelompok bisa memproduksi hingga 200 lembar per motif, namun saat ini sebagian besar baru mampu di bawah 10 lembar.
“Kami masih fokus di kain. Belum bisa banyak ke produk fashion karena keterbatasan modal dan keterampilan menjahit,” kata Syahdan jujur.
Meski begitu, dukungan PTBA melalui Rumah BUMN menjadi suntikan semangat baru. Rumah BUMN membantu pemasaran dan memperluas akses pasar, bahkan hingga luar daerah.
Dari Tambang ke Kain
Kini, Batik Kujur menjadi identitas baru Tanjung Enim. Dari kampung kecil yang dulunya tak mengenal batik, tumbuh sentra pengrajin yang membawa nama daerah ke kancah nasional.
“Dulu kami sama sekali tidak bisa membatik. Sekarang, kami sudah bisa menjual karya sendiri,” ujar Syahdan. “Harapannya, Batik Kujur makin berkembang, punya stok cukup, bahkan bisa masuk ke dunia fashion. Semoga Batik Kujur jadi kebanggaan Tanjung Enim.”
Penutup
Dari tambang batu bara hingga kain batik, dari kujur ke motif — perjalanan Batik Kujur adalah kisah transformasi ekonomi dan pelestarian budaya lokal. Di setiap goresan malam dan warna alami, tersimpan harapan masyarakat Tanjung Enim untuk masa depan yang lebih berwarna dan berdaya. (R01-R12-BFN)