HOT

iklan idul adha

Daerah  

Sarwo Edhie Wibowo Jasa Besar, Nasib Tregis

Sarwo Edhie Wibowo Jasa Besar, Nasib Tregis

JAKARTA, Beritafaktanews.com,Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dikenal luas sebagai sosok penting di balik keberhasilan penumpasan Gerakan 30 September (G30S) dan pembasmian sisa-sisa kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia adalah komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), pasukan elite yang langsung diterjunkan untuk menumpas gerakan yang mengancam stabilitas negara pasca 30 September 1965.

Peran Sarwo Edhie tidak hanya sebatas operasi militer. Ia juga menjadi tokoh kunci dalam mendukung naiknya Mayjen Soeharto ke tampuk kekuasaan, menggantikan Presiden Soekarno. Tanpa dukungan dan keberanian Sarwo Edhie saat itu, sejarah mungkin mencatat arah yang berbeda.

Baca Berita lainnya : Yusril Ihza Mahendra Menko Kumham Imipas Usulkan Daud Beureueh, Pejuang Yang Layak Mendapat Penghargaan Pahlawan Nasional

Namun, sejarah juga mencatat nasib tragis bagi sang “King Maker”. Meskipun berdiri di garis depan mendukung Soeharto, karier militer Sarwo Edhie justru menurun setelah Orde Baru berdiri kokoh. Pada 1967, ia dipindahkan dari posisi strategis Komandan RPKAD ke jabatan Pangdam II/Bukit Barisan di Sumatera Utara—langkah yang banyak disebut sebagai “pengasingan halus”.

Setahun kemudian, pada 1968, ia kembali dipindah ke Papua sebagai Pangdam XVII/Cenderawasih, wilayah yang kala itu bergolak dengan gerakan separatis OPM. Tugas tersebut bukan promosi, melainkan beban politik, jauh dari pusat kekuasaan.

Pada 1970, Sarwo Edhie diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Korea Selatan, sebuah penempatan diplomatik yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai bentuk pensiun dini. Tiga tahun kemudian, ia dilantik menjadi Gubernur AKABRI, jabatan yang secara simbolik menghormati jasanya, namun sekaligus menutup peluangnya untuk kembali ke arena militer aktif.

Sejumlah analis meyakini bahwa Soeharto sengaja “menepi”-kan Sarwo Edhie. Popularitas dan pengaruhnya dianggap berpotensi menjadi ancaman politik. “Soeharto tidak ingin ada matahari kembar,” tulis sejarawan Salim Said dalam bukunya Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016). Ia menyebut, selain Sarwo Edhie, tokoh-tokoh militer seperti Letjen Kemal Idris dan Mayjen H.R. Dharsono mengalami nasib serupa.

Menurut Salim, dalam proses penyingkiran tersebut, peran Ali Moertopo—tangan kanan Soeharto dalam bidang intelijen—disebut sangat besar.

Sarwo Edhie Wibowo, pahlawan di masa krisis, akhirnya tutup usia pada 1989 tanpa pernah benar-benar kembali ke garis depan kekuasaan yang turut ia bentuk.


Catatan Redaksi:
Nama Sarwo Edhie kembali mendapat sorotan setelah cucunya, Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi Presiden Republik Indonesia pada 2004–2014. Sejarah keluarga ini menjadi saksi silang antara kekuasaan, pengabdian, dan pengkhianatan diam-diam dalam politik Indonesia.
(Red)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *